Jika saat ini Louis Braille ada di tengah kita dan mengetahui
kemajuan yang dicapai oleh tunanetra di dunia, ia pasti bangga. Namun,
jika Louis Braille juga mengetahui masih banyaknya hal yang harus
diperjuangkan, terutama akses tunanetra yang hidup di negara-negara
sedang berkembang ke buku dan pendidikan, ia juga akan sangat prihatin.
Jika untuk mereka yang kurang atau tidak mampu yang tidak tunanetra,
telah banyak warga masyarakat yang mendirikan dan mengembangkan taman
bacaan, guna membantu mereka mendapatkan akses ke buku, tidaklah
demikian dengan mereka yang tunanetra. Hal ini dapat dipahami.
Masyarakat yang mengembangkan taman bacaan untuk mereka yang tidak mampu
biasanya mendapatkan sumbangan buku-buku dari anggota masyarakat lain,
baik perorangan maupun lembagga. Sedangkan, buku-buku untuk tunanetra,
hanya diproduksi oleh lembaga tertentu, Yayasan Mitra Netra satu di
antaranya, dengan biaya yang tidak murah. Jadi, jika sampai saat ini
belum ada taman bacaan umum yang dikelola masyarakat menyediakan buku
untuk tunanetra, itu dapat dimengerti. Ini bukan berarti di sekitar
taman bacaan tersebut tidak ada tunanetra.
Fakta juga menunjukkan bahwa, hingga kini jumlah perpustakaan untuk
tunanetra masih sangat sedikit. Dari program distribusi buku untuk
tunanetra yang Mitra Netra selenggarakan, hingga tahun 2014 ini baru
dapat menjangkau 43 kota di Indonesia. Penerima distribusi buku dari
Mitra Netra pada umumnya adalah sekolah luar biasa untuk tunanetra
(SLB-A).
Tantangan yang dihadapi adalah bagi tunanetra dewasa yang tidak lagi
bersentuhan dengan sekolah. Jika mereka ingin meminjam buku untuk
dibaca, kadang-kadang, atau, mungkin bahkan sering kali, ada keengganan
untuk datang ke SLB.
Apa solusi untuk hal ini? Jawabnya adalah "perpustakaan umum".
Perpustakaan umum diharapkan mengembangkan diri menjadi "perpustakaan
yang inklusif", yang memungkinkan setiap orang, termasuk warga
masyarakat tunanetra mengakses layanan yang mereka sediakan. Pengalaman
saya saat belajar di Melbourne bersama tujuh tunanetra lain – kala itu
kami dikirim oleh Pertuni, saya berkesempatan mengunjungi "Victoria
State Library" – perpustakaan umum milik pemerintah negara bagian
Victoria. Sebuah perpustakaan yang modern. Tidak hanya bangunannya saja
yang modern, namun juga layanannya.
Di Victoria state Library, ada satu sudut ruangan yang mereka sebut
"disability corner". Di sudut tersebut, terdapat pelbagai alat bantu
teknologi yang diperlukan penyandang disabilitas – khususnya tunanetra –
untuk mengakses buku-buku di perpustakaan. Di antara alat bantu
teknologi tersebut adalah CCTV, komputer yang dilengkapi dengan software
pembaca layar, scanner, alat pemutar buku audio digital, lensa
magnifyer, dan sebagainya.
Di Indonesia, Mitra Netra bersama Pertuni pada tahun 2006 pernah
merintis layanan semacam ini, yaitu di "Library @ Senayan" perpustakaan
yang berada di kantor Kementerian pendidikan dan Kebudayaan. Melalui
dana dari proyek kampanye bertajuk "Higher Education for Students With
Visual Impairment", Mitra Netra sebagai salah satu partner lokal Pertuni
untuk proyek tersebut, menjalin kerja sama dengan pengelola "Library @
Senayan", merintis ketersediaan layanan khusus bagi tunanetra di
perpustakaan tersebut. Dari dana proyek "higher education" yang
disponsori oleh The Nippon Foundation dan disalurkan ke Pertuni melalui
ICEVI (International Council of Education for People with Visual
Impairment), Mitra Netra dan Library @ Senayan mendirikan "blind corner"
(atau sudut tunanetra).
Di sudut tunanetra ini, Mitra Netra menempatkan beberapa alat bantu
teknologi dengan maksud agar layanan Library @ Senayan menjadi lebih
accessible bagi tunanetra. Alat tersebut terdiri dari komputer bicara
dan scanner. Di samping itu, satu dari beberapa komputer yang digunakan
sebagai fasilitas untuk membaca e-catalog juga dilengkapi dengan
software pembaca layar, sehingga tunanetra yang datang ke Library @
Senayan juga dapat mengakses e-catalog secara mandiri. Untuk melengkapi
fasilitas di sudut tunanetra itu, sejumlah buku Braille dan buku audio
digital juga ditempatkan di sana.
Namun sayang apa yang telah Mitra Netra dan Pertuni lakukan di
Library @ Senayan tidak dikembangkan oleh pengelola perpustakaan
tersebut. Alasan yang mereka sampaikan kepada Pertuni saat saya
berkunjung ke sana bersama wakil dari The Nippon Foundation adalah
karena sedikitnya jumlah tunanetra yang memanfaatkan fasilitas tersebut.
Betapa beda cara pandang pengelola Victoria State Library. Saat saya
bertanya kepada petugas Victoria State Library mengapa ada fasilitas
"disability corner" di sana, ia menjawab agar orang tunanetra juga dapat
membaca buku-buku yang disediakan perpustakaan itu. Dan ketika saya
bertanya apakah banyak tunanetra yang datang ke perpustakaan itu,
jawabnya tidak banyak, tapi ada. Petugas juga menerangkan bahwa sudah
menjadi tugas mereka menyediakan fasilitas-fasilitas itu, agar tunanetra
dapat juga mengakses perpustakaan.
Di kota Melbourne ada sebuah pusat sumber yang dikelola swasta
bernama "Vision Australia". Vision Australia menyediakan layanan untuk
tunanetra , satu di antaranya layanan perpustakan. Meski sudah ada
Vision Australia yang secara khusus melayani kebutuhan tunanetra akan
buku, namun tentu saja kapasitas pusat sumber ini terbatas.
Olehkarenanya, "Victoria State Library" wajib menyediakan fasilitas
khusus berbasis teknologi untuk masyarakat tunanetra di sana, sehingga
mereka memiliki akses yang sama ke literasi sebagaimana warga negara
yang tidak tunanetra.
Victoria State Library adalah salah satu contoh perpustakaan umum moderen di dunia.
Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCRPD – konvensi PBB tentang
hak penyandang disabilitas, Indonesia harus menuju ke arah sebagaimana
dimandatkan oleh konvensi tersebut.
Pasal 9 UNCRPD memandatkan tentang "aksessibilitas", yang di dalamnya
termasuk aksessibilitas di bidang "informasi". Di bawah ini bunyi Pasal
9 UNCRPD:
Pasal 9
Aksesibilitas
1. Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan
berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Pihak-pihak
negara wajib mengambil langkah yang tepat untuk memastikan akses bagi
penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya,
terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi,
termasuk sistem serta teknologi informasi dan komunikasi, serta akses
terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka atau tersedia
untuk publik, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Langkah-langkah
yang wajib meliputi identifikasi dan penghapusan kendala serta halangan
terhadap aksesibilitas, wajib berlaku, antara lain:
(a) gedung-gedung, jalan-jalan, sarana transportasi, dan fasilitas
dalam dan luar ruang lainnya, termasuk sekolah, perumahan, fasilitas
medis, dan tempat kerja;
(b) informasi, komunikasi, dan layanan lainnya, termasuk layanan elektronik dan layanan gawat darurat.
2. Pihak-pihak negara wajib juga mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:
(a) mengembangkan, menyebarluaskan, dan memantau pelaksanaan standar
minimum dan panduan untuk aksesibilitas terhadap fasilitas dan layanan
yang terbuka atau tersedia untuk publik;
(b) memastikan bahwa entitas swasta yang menawarkan fasilitas dan
layanan yang terbuka atau tersedia untuk publik mempertimbangkan seluruh
aspek aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
(c) menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku kepentingan mengenai
masalah aksesibilitas yang dihadapkan kepada penyandang disabilitas;
(d) menyediakan di dalam bangunan dan fasilitas lain yang terbuka
untuk publik, tanda-tanda dalam huruf Braille dalam bentuk yang mudah
dibaca dan dipahami;
(e) menyediakan bentuk-bentuk bantuan dan perantara langsung,
termasuk pemandu, pembaca, dan penterjemah bahasa isyarat profesional
untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap bangunan dan fasilitas lain
yang terbuka untuk publik;
(f) meningkatkan bentuk bantuan dan dukungan lain yang tepat bagi
penyandang disabilitas untuk menjamin akses mereka terhadap informasi
(g) meningkatkan akses bagi penyandang disabilitas terhadap sistem
serta teknologi informasi dan komunikasi yang baru, termasuk internet;
(h) memajukan desain, pengembangan, produksi, dan distribusi sistem
serta teknologi informasi dan komunikasi yang dapat terakses sejak tahap
awal, sehingga sistem serta teknologi ini dapat terakses dengan biaya
yang minimum.
Perpustakaan umum merupakan lembaga penyedia layanan informasi. Dan
di era informasi ini, kebutuhan mendapatkan informasi merupakan salah
satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Olehkarenanya, menjadi tugas
perpustakaan umum untuk mengembangkan diri menjadi "perpustakaan yang
inklusif", sehingga warga masyarakat tunanetra dapat terpenuhi hak
mereka akan kebutuhan informasi.
Apa yang dilakukan oleh Victoria State Library juga pernah saya temui
di perpustakaan Universitas Malaya di Kuala Lumpur. Di Indonesia,
perpustakaan Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka)
Jogjakarta mulai dikembangkan menjadi perpustakaan inklusif. Langkah UIN
Suka ini kemudian diikuti oleh Universitas Brawijaya Malang.
Lahirnya perpustakaan umum yang inklusif diharapkan akan lebih mudah
dijangkau oleh tunanetra. Di samping menyediakan alat bantu teknologi
untuk membantu tunanetra mengakses buku-buku koleksi perpustakaan umum
tersebut, pengelola perpustakaan umum juga dapat bekerja sama dengan
pusat sumber yang memproduksi buku-buku yang aksessible bagi tunanetra,
sebagai "supplyer" buku-buku tersebut. Kelak kita akan menyaksikan
tunanetra berdatangan ke perpustakaan umum, meminjam dan membaca buku di
sana, bersama warga masyarakat lain yang tidak tunanetra.
Louis Braille akan tersenyum bahagia saat mengetahui hal itu mulai
terwujud di seluruh penjuru planet bumi ini, terutama di negara-negara
sedang berkembang, termasuk Indonesia.